after Rudi___Jendela Apresiasi___: July 2006

Salam Hangat..., Di Blog Saya ( RUDI )

|| Muka Depan || Tentang Rudi || Hubungi Rudi ||

Thursday, July 06, 2006

Bencana Alam vs Bencana Buatan

Tulisan ini dipublikasikan di harian "Kedaulatan Rakyat",
Yogyakarta, 30 Juni 2006
---------------------------------------
GEMPA besar seperti yang menggoyang Yogya 27/5/2006 adalah
bencana alam yang tidak bisa dicegah dan tidak bisa
diprediksi saat terjadinya. Letusan Gunung Merapi dengan
luncuran awan panas, lahar dan lava pijarnya adalah
bencana alam yang tidak bisa dicegah namun bisa diprediksi
saat terjadinya, karena sebelumnya sudah memberi sejumlah
tanda-tanda. Untuk kedua jenis bencana yang tidak bisa
dicegah ini, manusia hanya bisa membuat perencanaan ruang
dan konstruksi yang siap menghadapinya. Mereka akan
mendirikan bangunan yang tahan gempa, atau permukiman di
zona yang tidak akan terkena awan panas dan lahar.

Namun banjir besar di Sinjai Sulawesi Selatan yang terjadi
kemudian adalah jenis bencana ketiga, yang mestinya dapat
dicegah dan diprediksi. Bencana banjir lebih tepat disebut
'bencana buatan' - bukan bencana alam. Quran mengatakan:
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar). (Qs 30 - Ar Ruum
:41)

Banjir terjadi ketika neraca air permukaan positif. Neraca
air ditentukan empat variabel: curah hujan di suatu
tempat, air limpahan masuk dari sekitar, air yang diserap
tanah dan air yang dapat dibuang atau dilimpahkan keluar.
Dari empat variabel tadi, tiga di antaranya dipengaruhi
atau bisa diintervensi oleh aktivitas manusia. Hanya curah
hujan yang tidak ditentukan oleh manusia. Manusia hanya
bisa menyelidiki curah hujan maksimum di suatu daerah dari
catatan stasiun cuaca dalam jangka panjang, seperti yang
ada pada Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).

Air yang terserap tanah tergantung jenis tanah dan
vegetasi di atasnya. Makin banyak vegetasi, makin tinggi
daya serapnya. Menggunduli hutan, mengeringkan rawa-rawa
atau mengubah fungsinya secara drastis berarti
merencanakan bencana. Demikian juga limpahan air masuk dan
keluar, dapat diintervensi manusia dengan tanggul, kanal,
dan pompa air.

Tak heran, curah hujan sebesar apapun pada daerah yang
bahkan lebih rendah dari permukaan lautpun - bisa jadi
tidak mengakibatkan banjir, selama manusia sudah dapat
mengelola neraca air dengan seksama. Amsterdam contohnya,
kota ini rata-rata terletak tujuh meter di bawah muka
laut. Namun teknik hidrologi Belanda membuktikan, dengan
suatu jaringan kanal kota yang rapi, sistem pompa yang
efisien serta tanggul laut yang perkasa, beberapa dekade
terakhir kota besar ini tidak pernah kebanjiran lagi.

Di Jakarta, meski Ancol terletak di tepi laut, namun Ancol
tidak pernah kebanjiran, padahal banyak lokasi lain di
Jakarta yang lebih tinggi dari Ancol justru biasa
tergenang. Dengan demikian, banjir pasti bisa dicegah,
asal kita memiliki tiga pilar pencegahnya.

Pilar pertama adalah kesadaran warga untuk menjaga
lingkungan. Di 'zaman edan' ini, Alhamdulillah tetap saja
ada warga yang sadar, bahwa membuang sampah di sungai atau
menjarah hutan itu berbahaya. Bahkan ada orang yang rela
menghabiskan umurnya untuk terus menanam pohon. Rasulullah
memuji seseorang yang terus menanam pohon, sekalipun orang
itu tahu sorenya hari kiamat akan tiba. Orang itu merawat
lingkungan tanpa memandang hasil, namun sebagai
manifestasi ibadahnya.

Pilar kedua adalah kontrol sosial dari budaya masyarakat
yang menghargai lingkungan, walau kadang dikaitkan mitos
tertentu. Inilah 'kearifan lokal', yang meski tidak ilmiah
namun efektif menjaga mereka dari bencana. Namun di suatu
masyarakat, tidak semua warga dapat diharapkan sadar
lingkungan atau punya malu ketika menyimpang dari budaya
yang ada. Untuk itulah diperlukan pilar ketiga, yaitu
peran pemerintah. Pemerintah harus melakukan rekayasa
sosial dan fisik, agar lingkungan terjaga.

Pemerintah bisa membuat aturan yang memberi insentif pada
daerah yang meningkat kualitas lingkungannya - misalnya
dengan Dana Alokasi Khusus, pengurangan pajak, atau
subsidi warga (pendidikan, kesehatan, BBM, infrastruktur).
Pemerintah juga wajib mengurangi beban utang negara, agar
sumber alam ini tak lalu 'digadaikan' untuk membayar utang
berikut bunganya.

Pemerintah dapat menstimulasi gerakan cinta lingkungan
dengan promosi yang gencar di media massa, melibatkan
tokoh dan selebritis, juga memasukkannya dalam kurikulum.
Gaya hidup materialistis, yang mendorong orang lebih
banyak menjarah alam, harus dikikis habis. Agar lebih joss
lagi, gerakan ini perlu diberi landasan spiritualnya, agar
merawat lingkungan dirasakan sebagai aktivitas syar'i yang
transendental.

Pemerintah dapat mewajibkan agar pada setiap proyek (real
estat, lapangan golf, reklamasi pantai), dilakukan
simulasi uji dampak lingkungan. Pemerintah bisa menghukum
berat para penjahat lingkungan, penjarah hutan, penumpah
limbah sembarangan, termasuk juga para pejabat yang secara
sembrana memberi izin atau tutup mata pada para kapitalis
bejat seperti itu.

Tanpa pilar-pilar ini, bencana alam ..ups.. 'bencana
buatan' akan terus menghantui kita. Maka apakah
orang-orang pembuat kerusakan itu, merasa aman dari
ditenggelamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau
datangnya azab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka
sadari ?, (Qs. 16 - an Nahl:45)